Kesempatan Jalan-Jalan Ke Malaysia Gratis, ini link-nya:

http://indonesia.youthsays.com/seachange/go/vvp

Bisnis Kita

Jumat, 09 Oktober 2009

Sikap Ayah Pengaruhi Perkembangan EQ Bayi

Sikap ayah dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan ternyata bisa mempengaruhi EQ bayi. Jika si Ayah suka nempilkan wajal sebal, si bayi konon mengamati dan ikut-ikutan menampilkan wajah sebal juga. Jika si Ayah suka cemburu, eh si bayi juga konon begitu juga.
Usia 0 - 3 Bulan
Hubungan emosional bayi dengan ibunya sudah ada sejak dalam kandungan, demikian kata sebagian pakar. Bayi bisa tahu bila ibunya dalam keadaan stres atau tenang. Jika ibu stres, biasanya bayi ikut rewel, cengeng, dsb.). Jika ibunya tenang, bayi pun tenang. Jika saat ini ibu stres akibat kecemburuan ayah terhadap bayi (yang ditunjukkan lewat perbuatan atau kata-kata yang negatif), otomatis, bayi pun bisa merasakannya dan ikut-ikutan stres.
Sebagian pakar lain mengatakan bahwa hubungan bayi dengan orangtuanya mulai terjalin saat ayah ibunya memberinya minum, menggendong, mendekap, dan menenteramkannya. Kualitas hubungan bayi dengan ayah ibunya di masa ini akan mempengaruhi proses perkembangan keterampilan sosialnya nanti. Jika kecemburuan ayah sampai memperburuk kualitas hubungannya dengan bayi, dikhawatirkan buruk pula proses perkembangan keterampilan sosial si kecil nantinya.
Saat berusia 3 bulan, bayi mulai berminat berinteraksi sosial lewat tatap muka, terutama wajah kedua orangtuanya. Ia akan belajar banyak hal lewat pengamatan dan peniruan bagaimana 'membaca' dan mengungkap emosi. Inilah tahap untuk secara aktif mulai melatih emosi bayi. Apa jadinya bila ayah sering menampilkan wajah sebal atau malah membuang muka setiap kali bayi menatapnya? Maka bayi akan mengamatinya, membacanya, dan ikut-ikutan sering menampilkan wajah sebal.
Usia 6 - 8 Bulan
Di usia ini bayi mulai menemukan cara baru untuk mengungkapkan perasaan hatinya, semisal sedih, gembira, takut, marah, dsb. kepada sekelilingnya. Jika sebelumnya ia hanya mampu memikirkan benda atau manusia yang ditatapnya saat itu, sekarang ia sudah bisa memindahkan perhatiannya sambil tetap mengingat objek/manusia tanpa harus menatapnya lagi. Kalau ia senang dengan bola merahnya, ia akan memandang orang tuanya atau orang lain sambil menyampaikan rasa senangnya (lewat senyum, ocehan, atau gelak tawa). Inilah dasar kemampuan untuk bermain dan berinteraksi secara emosional nantinya. Jika bayi lebih banyak merasa sedih/takut pada ayahnya yang galak atau ketus dibakar cemburu, ia akan selalu menatap sekelilingnya dengan ekspresi begitu pula. Mengenaskan, ya!


Usia 9 - 12 Bulan
Di rentang usia ini, bayi mulai memahami bahwa manusia dapat membagi gagasan dan emosi mereka satu sama lain. Bila ayah atau ibu bertanya kepada bayi, "Dedek lagi kesal, ya?", bayi dapat memahami bahwa orangtuanya ternyata bisa membaca atau mengetahui suasana hatinya. Dengan kata lain bayi mulai memahami bahwa dengan menunjukkan ekspresi tertentu, ia atau orang lain dapat berbagi emosi.
Jika ayah yang cemburu kepada bayi selalu menunjukkan ekspresi negatif (acuh tak acuh, sebal, kesal, dsb.), bayi pun mengetahui suasana hati ayahnya sedang tak bersahabat. Dan jika bayi selalu menjumpai ayahnya dalam keadaan seperti ini, ia pun cenderung menghindar dari sang ayah. Dengan begini, bayi akan kekurangan kasih sayang ayah. Padahal, menurut Robin Skynner, pendiri dan pengajar pada Institute of Family Therapy, Inggris, kehadiran seorang ayah yang penuh kasih sayang di samping bayi kelak akan membantu si bayi menghadapi berbagai masalah dan kelompok yang lebih dari dua orang. Un/dari berbagai sumber/FAD

Pendidikan Anak

TV Hambat Perkembangan Bahasa Bayi



Sabtu,10 Oktober 2009 | 12:05 WIB
Bayi yang selalu terpajan pada suara televisi lebih mungkin menderita penundaan perkembangan bahasa dan tertinggal dalam perkembangan otak karena mereka mendengar lebih sedikit kata dari orangtua mereka dan kurang "berbicara".
"Kita telah mengetahui bahwa pajanan terhadap televisi selama kehamilan berkaitan dengan penundaan bahasa dan gangguan perhatian, tapi sejauh ini kondisi tersebut tetap belum jelas mengapa," kata pemimpin tim peneliti AS Dimitri Christakis, profesor di University of Washington.
"Televisi yang bersuara jelas mengurangi kata-kata bayi dan perawat mereka di dalam rumah dan ini mengandung potensi yang merugikan bagi perkembangan bayi," kata Christakis sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi China, Xinhua.
"Studi ini adalah yang pertama yang memperlihatkan bahwa ketika televisi menyala ada pengurangan kata-kata di dalam rumah. Bayi kurang mengeluarkan kata-kata dan perawat mereka juga lebih jarang berbicara dengan mereka," katanya.
Studi tersebut, yang melibatkan 329 anak, meneliti bayi yang berusia dua bulan sampai empat tahun. Anak-anak itu memakai perekam kecil digital seberat dua ons yang seukuran kartu bisnis pada hari yang diacak per bulan sampai selama dua tahun.
Rompi yang dirancang khusus dengan kantung di dada menjadi tempat penyimpanan alat perekam tersebut dengan jarak tertentu dari mulut,

Bahayakah Anti Biotik, bila diberikan Over dosis?

Penggunaan Antibiotika Irrasional pada Anak


Pendahuluan
“Penderita yang sering berobat di Indonesia bila berobat di luar negeri (terutama di negara maju) sering khawatir, karena bila sakit jarang diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang sering berobat di luar negeri juga sering khawatir bila berobat di Indonesia, setiap sakit selalu mendapatkan antibiotika”. Hal ini bukan sekedar pameo belaka. Tampaknya banyak fakta yang mengatakan bahwa memang di Indonesia, dokter lebih gampang memberikan antibiotika.


Penggunaan antibiotika irasional atau berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan atau penggunaan irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat. Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.
Di Indonesia belum ada data resmi tentang pengguanaan antibiotika ini. Sehingga banyak pihak saat ini tidak terlalu peduli dengan masalah ini. Berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya penggunaan antibiotika di Indonesia baik jauh lebih banyak dan lebih mencemaskan.

• Bahaya Penggunaan Antibiotika pada Anak
Sebenarnya penggunaan antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas. Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Seperti diketahui bahwa harga obat antibiotika merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak masih belum tumbuh sempurna. Apalagi anak beresiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 kali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan antibiotika. Gangguan organ tubuh yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa (reaksi anafilaksis).
Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau oleh Namur atau disebut "superinfection". Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut “superbugs”.

Jadi jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah dengan Antibiotika yang ringan, apabila antibiotikanya digunakan dengan irasional, maka bakteri tersebut mutasi dan menjadi kebal, sehingga memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar, lama kelamaan, apabila pemakaian antibiotika yang irasional ini terus berlanjut, maka suatu saat akan tercipta kondisi dimana tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini. Hal ini akan membuat kembali ke zaman sebelum antibiotika ditemukan. Pada zaman tersebut infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga angka kematian akan drastis melonjak naik. Hal lain yang mungkin terjadi nantinya kebutuhan pemberian antibiotika dengan generasi lebih berat, dan menjadikan biaya pengobatan semakin meningkat karena semakin harganya mahal.

• Indikasi Pemakaian Antibiotika
Indikasi yang tepat dan benar dalam penggunaan antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari.

Bila batuk dan pilek yang berkelanjutan yang terjadi hanya pada malam hari dan pagi hari (bukan sepanjang hari) biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, bengkak di sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari. Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Bila sakit batuk dan pilek timbul sepanjang hari (bukan hanya malam dan pagi hari) lebih dari 10-14 hari disertai cairan hidung mukopurulen (kuning atau hijau). Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur yang membutuhkan beberapa hari untuk observasi. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan sample urin dan kemudian di lakukan pemeriksaan kultur di rumah sakit. Setelah beberapa hari akan ketahuan bila ada infeksi bakteri berikut jenisnya dan sensitivitas terhadap jenis obatnya.

Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kulut urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium. Infeksi virus dengan peningkatan sedkit pemeriksaan nilai widal sudah divonis gejala tifus dan dihantam dengan antibiotika.

Sebagian besar kasus penyakit infeksi pada anak penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik. Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 anak penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarana sekali terjadi komplikasi bakteri.
• Siapa yang Bertanggungjawab
Dalam permasalahan penggunaan antibiotika yang berlebihan ini, pihak manakah yang bertanggung jawab untuk mengatasinya. Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperanan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotik, sales representatif, perusahaan farmasi dan pabrik obat.

Bila penggunaan antibiotika berlebihan lebih dikarenakan faktor dokter, maka orang tua sebagai penerima jasa dokter dalam keadaan posisi yang sulit. Tetapi orang tua penderita sebagai pihak pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya rencana pengobatan, tujuan pengobatan dan akibat efek samping pengobatan tersebut Kalau perlu orang tua sedikit berdiskusi dengan cara bukan menggurui untuk peluang apakah boleh tidak diberi antibiotika.

Dilain pihak, orangtua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang berlebihan. Pendapat umum yang tidak benar terus berkembang, bahwa kalau tidak memakai antibiotika maka penyakitnya akan lama sembuhnya Tidak jarang penggunaan antibiótika adalah permintaan dari orang tua. Yang lebih mengkawatirkan saat ini beberapa orang tua dengan tanpa beban membeli sendiri antibiotika tersebut tanpa pertimbangan dokter. Antibiotika yang merupakan golongan obat terbatas, obat yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotik atau di toko obat meskipun tanpa resep dokter.


Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representative dan apotik sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan cara dilakukan. Dokter sebagai penentu penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak dan harus lebih mempertimbangkan latar belakang ke ilmiuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan kepentingan lainnya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperanan dalam mengurangi perilaku penggunaan antibiotika yang berlebihan ini.

Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerjasama dalam penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media yang ada. Penertiban penjualan obat antibiotika oleh apotik dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti. Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian. Bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan dokter, meskipun hanya demi kepentingan kegiatan ilmiah. PERSI sebagai wadah organisasi rumah sakit, juga berwenang memberikan pengawasan kepada anggotanya untuk terus melakukan evaluasi yang ketat terhadap formularium obat yang digunakan.

Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika secara drastis. Proporsi anak usia 0 – 4 tahun yang mendapatkan antibiotika menuirun dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiótika yang diresepkan menurun, dari 47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup banyak, padfa tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000.

Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri.

Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan penggunaan antibiotika ini. Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasinol di Indonesia tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras, niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini akan dapat terpecahkan. Jangan sampai terjadi, kita semua baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang sangat serus.

*Taken from Inovasi Online Vol. 8/XVIII/November 2006
by dr. Widodo Judarwanto, Sp. A (RS. Bunda Jakarta)

Perlukah Anti Biotik

Antibiotik merupakan salah satu obat terpenting yang pernah diciptakan manusia karena antibiotik membantu kita berperang melawan infeksi kuman/bakteri, sehingga menjadi penyelamat jiwa. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, keampuhan antibiotik semakin memudar.

Apa yang telah terjadi?Ternyata penggunaan antibiotik yang membabi buta menyebabkan obat ini kehilangan pamornya sebagai obat “istimewa”. Saat ini di seluruh belahan dunia, sebagian besar kuman penyebab infeksi serius sudah resisten (kebal) terhadap antibiotik. Kuman yang resisten ini disebut sebagai “superbugs.”
Menurut Dr. Purnamawati S Pujiarto, Sp.Ak, MMPed, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP) yang juga pengasuh milis sehat, penggunaan antibiotik yang tidak rasional bukan hanya “merugikan” pasien terutama pasien anak-anak, tapi juga lingkungan sekitarnya. Lingkungan akan menjadi potensial terinfeksi oleh kuman yang sudah resisten antibiotik.
Kamis, 30 November 2006 lalu, di Ahmad Bakrie Hall- Klub Rasuna Jakarta, Majalah Ayahbunda mengadakan Jumpa Pakar Ayahbunda yang terakhir di penghujung tahun 2006. Seminar dengan tema “Bijak Menggunakan Antibiotik Pada Balita” ini dimoderatori oleh artis cantik yang baru 50 hari melahirkan putra kedua yaitu Moza Pramita.
Masalah superbugs ini sudah menjadi keprihatinan seluruh dunia seperti yang dinyatakan Ikatan Dokter Amerika, The American Medical Association (AMA) pada tahun 1995. “Seluruh dunia dihadapkan pada semakin maraknya kuman-kuman yang telah menjadi resisten/kebal terhadap semua antibiotik yang ada. Hal ini menimbulkan krisis luar biasa terhadap kesehatan masyarakat.”
Pembicara yang akrab disapa Bunda Wati mengungkapkan banyak kelirumologi yang berkembang di masyarakat seperti: “kuman itu jahat jadi perlu makan antibiotik” atau “untuk demam, batuk pilek, & diare juga perlu makan antibiotik,” dan lain-lain.

“Padahal sakit pada anak merupakan pembelajaran antibodi,” jelas Bunda Wati. Alam sudah membekali tubuh si kecil dengan sistem kekebalan yang dapat membantunya menghalau serangan kuman penyakit.

Disamping itu, bakteri & jamur adalah kawan kita sehari-hari. Bakteri jumlahnya trilyunan dan terdapat di udara, tanah, laut, pepohonan, makanan dan sebagian besar permukaan yang kita sentuh tiap hari. “Manusia tidak menjadi sakit karena tidak semua bakteri berbahaya,” ungkap Bunda Wati.


Mayoritas bakteri tidak jahat, bahkan menguntungkan. Kita dan tubuh kita justru membutuhkan bakteri karena membantu kesehatan kita. Saluran pencernaan kita “penuh” dengan bakteri (kurang lebih 500 jenis bakteri) yang berperan penting dalam sistem pencernaan kita.


Bakteri di usus berfungsi memperbaiki sel dinding usus yang sudah tua dan rusak, mengubah apa yang kita makan menjadi nutrisi yang dibutuhkan tubuh, memproduksi vitamin B & K, merangsang gerakan peristaltis usus sehingga tidak mudah mengalami konstipasi, serta menghambat berkembangbiaknya bakteri jahat dan secara tidak langsung mencegah tubuh kita tidak terinfeksi bakteri jahat.


Secara garis besar bakteri dapat digolongkan sebagai bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif umumnya menyebabkan infeksi di bagian atas diafragma dan lebih mudah dilawan dibandingkan bakteri gram negatif yang menyebabkan infeksi di bawah diafragma.

Kapan Butuh Antibiotik?

Antibiotik pun digolongkan menjadi dua, yaitu narrow spectrum (spektrum sempit) dan broad spectrum (spektrum luas). Narrow spectrum untuk membunuh bakteri yang sudah diketahui, sedangkan broad spectrum adalah antibiotik yang lebih kuat dan diperuntukan bakteri yang belum diketahui.

“Konsumen harus mengetahui kapan butuh antibiotik dan kapan jangan mengonsumsi antibiotik,“ sambung Bunda Wati. Antibiotik tidak bekerja pada colds & flu, sebagian besar batuk atau bronchitis, sebagian besar radang tenggorokan (sore throat), sebagian besar infeksi telinga dan sinusitas.

Jangan Gunakan Antibiotik

Menurut penelitian, ada empat kondisi yang umumnya diterapi antibiotik padahal tidak perlu, yaitu demam, radang tenggorokan, diare dan batuk.Umumnya demam tidak berbahaya. Demam merupakan salah satu usaha tubuh dan sistem imun untuk memerangi infeksi. Tingginya demam tidak identik dengan beratnya penyakit. Demam bukan penyakit, melainkan gejala dan semacam alarm. Kebanyakan demam pada bayi dan anak disebabkan oleh infeksi virus.

Radang tenggorokan belum tentu infeksi. Radang atau inflamasi adalah merah, membengkak dan nyeri. Radang tenggorokan pada bayi dan anak umumnya disebabkan oleh virus sehingga tidak memerlukan antibiotik, sedangkan radang yang disebabkan kuman streptokokus membutuhkan antibiotik. Radang akibat infeksi kuman ini menyerang anak di atas usia 4 tahun.

Diare dengan atau tanpa muntah, umumnya akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Berikan cairan sesering mungkin agar anak tidak dehidrasi adalah hal yang penting. Perlu diketahui bahwa diare merupakan upaya tubuh untuk “membuang” segala sesuatu yang tidak berkenan di saluran cerna anak. Diare pada anak & bayi pun umumnya disebabkan infeksi virus.

Bunda Wati menjelaskan, “Batuk itu bukan penyakit.” Batuk merupakan refleks untuk membersihkan saluran napas. Kebanyakan batuk diebabkan oleh infeksi virus. Seperti penyakit yang sudah disebutkan sebelumnya, jangan meminta obat untuk menghentikan penyakit tapi pikirkan penyebabnya.

Infeksi yang disebabkan oleh virus hanya bisa diatasi dengan kekebalan tubuh. Antibiotik tidak berguna karena tidak dapat membunuh virus. Justru antibiotik dapat membunuh bakteri baik dalam tubuh kita.

Penggunaan Antibiotik yang Rasional Berikut ini aturan pemakaian antibiotik yang lebih rasional: Seandainya anak kita membutuhkan antibiotik, pilihlah antibiotik yang hanya bekerja terhadap bakteri yang dituju. Dalam hal ini, antibiotik yang narrow spectrum.

Untuk infeksi bakteri yang “ringan” (infeksi saluran napas atas/infeksi telinga dan infeksi sinus) yang memang perlu antibiotik, maka pilihlah yang bekerja terhadap bakteri Gram positif.


Untuk infeksi kuman yang berat, seperti infeksi di bawah daerah diafragma (infeksi ginjal/saluran kemih, apendisitis, tifus, pneumonia, meningitis bakteri), pilihlah antibiotik yang juga membunuh kuman Gram negatif.

Hindari pemakaian lebih dari satu antibiotik kecuali TBC atau infeksi berat di rumah sakit.

Hindari pemakaian salep antibiotik kecuali untuk infeksi mata.

Tanyakan penyebabnya

Dengan demikian, bila anak kita sakit, tanyakanlah penyebab semua gejala yang dialami oleh anak. Ingatlah bahwa demam, batuk, pilek, diare, muntah, radang tenggorokan merupakan gejala, bukan penyakit. Tanyakan, apakah penyebabnya infeksi atau bukan. Kalau infeksi, apakah disebabkan oleh virus atau kuman. Kemudian tanyakan apa yang harus dilakukan dan mengapa hal itu dilakukan.


Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan merugikan, bahkan bisa membahayakan. Pasien dirugikan karena: Semakin sering mengonsumsi antibiotik, semakin sering kita jatuh sakit. Antibiotik merupakan karunia Tuhan yang tidak ternilai. Mari kita jaga dan lindungi karunia ini dengan cara penggunaan yang bijak dan rasional, agar dunia tidak “kehabisan” antibiotik. Jangan biarkan anak cucu kita menderita akibat ulah kita yang tidak bijak.

Sakit semakin parah, semakin lama, angka kematian meningkat. Pemborosan, baik pasien, unit layanan kesehatan, dan negara. Penggunaan antibiotik yang berlebihan merugikan 3P, yaitu Planet, Patient dan Pocket.

Anti Biotik

Pemberian Antibiotik Pada Anak Picu Efek Samping!


Jakarta - Penggunaan antibiotik irasional pada anak dapat meningkatkan resistensi terhadap bakteri. Penggunaan antibiotik pada bayi dan anak-anak dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan pada beberapa organ tubuh, karena sistem tubuh dan fungsi organ yang tergolong belum tumbuh.

Gangguan organ tubuh yang dapat terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah, atau akibat lainnya berupa reaksi alergi karena obat.

Reaksi alergi karena obat biasanya menimbulkan gangguan ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa atau reaksi anafilaksis.

Berdasarkan rekomendasi dan kampanye penyuluhan yang telah dilakukan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bekerjasama dengan American Academy of Pediatrics (AAP), penggunaan antibiotik di Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan drastis. Prevalensi anak usia 0?4 tahun yang mendapatkan antibiotik menurun dari 47,9% pada tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000.

Jumlah rata-rata antibiotik yang masuk dalam daftar resep obat menurun dari 47.9 jumlah resep per anak pada tahun 1996 menjadi 0.78 pemberian resep per anak tahun 2000. Biaya yang dikeluarkan pun menurun menjadi US$ 21,04 per anak pada 2000, setelah sebelumnya tahun 1996 mencapai US$ 31,45. Dr Latre Buntaran SpMK, dokter spesialis mikrobiologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjelaskan, indikasi yang tepat dan benar dalam penggunaan antibiotik pada anak adalah apabila infeksi disebabkan oleh bakteri.

Sementara itu, hampir sebagian besar kasus penyakit infeksi pada anak, seperti diare, batuk, pilek, atau panas disebabkan oleh virus. Penyakit yang disebabkan oleh virus itu sendiri tergolong self limiting disease, atau penyakit yang akan pulih sendiri hanya dalam waktu 5 sampai 7 hari.

?Oleh karena itu, sangat dimungkinkan hanya sekitar 10 hingga 15% anak yang terinfeksi virus yang mendapatkan pengobatan antibiotic,? paparnya di Jakarta, kemarin.

Biasanya, setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali infeksi saluran napas yang diakibatkan oleh virus.

Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 anak penderita flu-pilek karena virus, ditemukan bahwa pemberian antibiotik tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung.

Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari infeksi pernapasan atas yang disebabkan oleh virus. Perubahan warna dahak dan ingus menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis infeksi saluran napas atas karena virus, bukan merupakan indikasi antibiotik.

?Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri,? tuturnya.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pemberian antibiotik dilakukan jika batuk dan pilek berkelanjutan selama lebih 10-14 hari dan terjadi sepanjang hari.

Untuk batuk malam dan pagi hari, biasanya hanya berkaitan dengan alergi sehingga tidak perlu antibiotik. Kasus lainnya yang mengindikasikan pemberian antibiotik, adalah jika terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas dengan temperatur suhu di atas 39 derajat Celcius dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. (izn)

Kamis, 08 Oktober 2009

Gaya Hidup

Sudah Sehatkah Gaya Hidup Anda?

VIVAnews - Berolahraga teratur, mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, dan tidak merokok merupakan gaya hidup orang sehat. Sebelumnya Anda telah menjalani kebiasaan itu, dan mengira telah menjaga kondisi tubuh dengan baik. Temukan apakah Anda telah menjalani gaya hidup yang benar atau salah!

1. Kenali sejarah penyakit keluarga Anda
Dengan mengetahui sejarah penyakit ibu, saudara kandung, dan nenek, Anda bisa cepat mendiskusikan suatu masalah bersama dokter. Jadi, penyakit keturunan bisa dicegah atau disembuhkan sebelum terlalu parah. Penyakit keturunan ini misalnya diabetes, kanker, dan darah tinggi. Lagi pula, lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan?
2. Ciptakan tidur sebagai prioritas
Langsung tertidur sesaat berada di atas kasur, dan lelah ketika bangun adalah tanda bahwa kebiasaan tidur terganggu. Kebanyakan orang perlu 7-9 jam istirahat setiap malamnya. Untuk mengoptimalkan waktu tidur, di saat libur cobalah untuk tidur lebih cepat dari biasanya dan bangun dengan sendirinya, tanpa bantuan jam weker. Seminggu menjalani hal ini, tubuh Anda akan menjadi segar. Lalu, praktekkan jadwal tidur ini pada hari kerja. Tidurlah lebih awal, jangan menunggu sampai Anda merasa lelah. Jam tidur Anda akan teratur.
3. Check up tahunan
Tak rugi melakukan check-up ke dokter meskipun usia Anda baru 25 tahun, sebab berguna untuk mendeteksi dini penyakit yang muncul tanpa ada gejalanya. Bagi wanita menikah, check-up ke ginekolog akan lebih baik lagi. Idealnya, pemeriksaan pap smear dilakukan sejak setahun setelah melakukan hubungan intim dan sebaiknya dilakukan terus-menerus setahun sekali.
4. Pertahankan berat badan ideal
Tetap sehat dengan berat badan ideal dapat mencegah penyakit diabetes, kanker payudara, dan penyakit lainnya. Bila berat badan Anda selalu naik turun dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, sistem metabolisme tubuh jadi kacau. Sehingga, semakin bertambah usia, semakin sulit berat badan ideal didapatkan, karena semakin sulit membakar kalori yang ada dalam tubuh.
5. Mengkonsumsi makanan kaya kalsium
Makan, olahraga, dan kebiasaan hidup lainnya (misalnya, merokok) dapat mempengaruhi massa tulang Anda, dalam hal positif maupun negatif. Maka dari itu, sangat penting untuk memperoleh masukan kalsium 1.000 mg per hari. Konsumsi juga makanan yang kaya kalsium, seperti keju rendah lemak, yoghurt, bayam, dan jus jeruk. Mengkonsumsi suplemen memang baik, namun memperoleh zat kalsium dari makanan sesuai kebutuhan akan lebih baik lagi.
6. Jauhi minuman beralkohol
Minuman beralkohol dapat meningkatkan risiko kerusakan lever serta menjadi pencandu alkohol. Bila Anda dapat menghindarinya, berarti Anda juga melindungi kesehatan jantung. Hindari minuman beralkohol agar hidup lebih sehat.

Selasa, 06 Oktober 2009

Bijak Dalam Memilih Obat Tradisional

Sebagian besar dari kita akrab dengan obat tradisional. Bahkan, banyak yang mengandalkan obat semacam ini untuk menjaga kesehatan atau mengobati penyakit. Sebetulnya, bagaimana cara memilih obat tradisional yang aman?

Minggu lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sedikitnya 93 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras di sejumlah pasar tradisional.

Obat-obat itu biasanya dijual di gerai-gerai jamu atau dijajakan oleh tukang jamu gendong (dengan sebutan jamu setelan). Kabar tersebut tentu saja menambah kekhawatiran bagi pecinta obat-obat tradisional, karena bahan kimia obat keras jika dikonsumsi akan membahayakan kesehatan.

"Mengonsumsi obat tradisional berbahan kimia obat keras bukan saja membahayakan kesehatan, tapi juga bisa mematikan. Pemakaian obat keras harus melalui pengawasan dan resep dokter," tandas Kepala BPOM, Husniah Rubiana Thamrin Akib, Selasa (5/12). Berbagai bahan kimia obat keras yang ditemukan BPOM itu antara lain fenilbutason, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol.

Misalnya, metampiron dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, perdarahan lambung dan gangguan syaraf. "Fenilbutason dapat menyebabkan rasa mual, ruam kulit, retensi cairan, dan gagal ginjal. Deksametason dapat menyebabkan trombositopenia, anemia plastis dan gangguan fungsi ginjal, sedangkan Sibutramin Hidroklorida dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung."

REAKSI LAMBAT

Menurut Dr. Dyah Iswantini, MAgr. dari Pusat Studi Biofarmaka IPB, prinsip kerja jamu salah satunya adalah proses (reaksinya) yang lambat, tidak seperti obat dari bahan kimia yang bisa langsung bereaksi. "Ini karena jamu bukan senyawa aktif. Kalau senyawa aktif (parasetamol, misalnya), butuh proses yang panjang."

Jamu biasanya berasal dari simplisia (tanaman obat kering), yaitu daun/umbi yang diiris, dikeringkan, dan dihancurkan. "Jamu diambil dari daun tanaman obat. Kalau mau diambil senyawanya, harus diekstrak, dipisahkan dulu, dimurnikan, difraknisasi, baru dapat senyawanya," papar Dyah. Tentu saja proses tersebut butuh jumlah bahan baku yang sangat banyak. Misalnya, dari satu ton daun sambiloto yang diekstrak, baru bisa didapat bahan aktifnya.

Itulah sebabnya, jika efek sembuh langsung muncul begitu jamu diminum, konsumen layak curiga, karena pasti ada sesuatu. "Itu yang terjadi pada jamu-jamu yang diberi obat-obat kimia tadi. Tanpa penelitian, hanya dimasukkan begitu saja. Kalau gatal-gatal, diberi CTM. Pusing-pusing, diberi antalgin atau parasetamol. Untuk asam urat, diberi allupurinol. Ya, jelas manjur. Tapi, menjadi berbahaya karena dosisnya tidak diketahui dan tanpa pengawasan dokter. Jamunya hanya sebagai penampakan, padahal isinya bahan kimia."

Peneliti yang juga dosen di Departemen Kimia IPB ini melanjutkan, "Bahaya sekali kalau ada bahan kimia, tanpa tahu dosisnya. Padahal, yang namanya obat (kimia), dosis sangat menentukan. Kalau melebihi dosis bisa berakibat fatal, atau kalau dipakai dalam waktu tertentu, bisa merusak organ vital." Namun, Dyah menekankan, tentu saja tidak semua jamu tidak baik.

Dosis biasanya tertera pada kemasan, kecuali jamu gendong. "Dosis, kan, sebenarnya tidak sembarangan ditentukan. Harus sampai penelitian preklinis (uji coba ke hewan)," jelas Dyah. Dosis di sini dalam arti berkhasiat. Tapi, dosis juga dalam arti jangan sampai melebih toksisitasnya. Misalnya dosisnya satu sachet sehari. Berarti kalau lebih dari satu sachet, sudah melampaui batas yang ditentukan.

PASCA PANEN

Aman dikonsumsi memang menjadi syarat utama jamu, seperti yang ditentukan oleh BPOM. Untuk menguji keamanan, biasanya dilihat kandungannya. Misalnya dengan melihat tingkat toksisitasnya. Contohnya buah mahkota dewa. "Dosisnya harus sekian, tidak boleh melebihi sekian, karena toksik."

Selain soal toksisitas, yang juga memengaruhi keamanan jamu adalah faktor penanganan pascapanen. "Bagaimana cara mencuci, mengeringkan, dan menyimpan sampai menjadi jamu atau produk tertentu (misalnya kapsul atau minuman instan) sangat berpengaruh. Kalau tidak benar, maka mikroba dan aflatoksin jamur, justru bisa berakumulasi di dalam tubuh dan bisa berbahaya," lanjut Dyah.

Penanganan pascapanen harus berdasarkan standar yang benar. "Cara membersihkan, mengiris, mengeringkan pun ada standarnya (Standar Nasional Indonesia). Temulawak dan jahe, misalnya, sudah ada SNI-nya. Jadi, bagaimana penanganan pascapanen dan budidaya sudah ada standarnya."

Lebih lanjut Dyah mencontohkan mengenai ketebalan irisan. "Tak bisa sembarangan. Tergantung apa yang diinginkan. Misalnya, kalau yang diinginkan minyak atsirinya, berarti irisan harus lebih tebal, dan sebagainya." Begitu pula dengan cara mengeringkan dan menyimpan, juga tak boleh dianggap remeh. "Kalau sudah lembap, bukannya mengobati atau mencegah, tapi mikroba yang masuk ke tubuh malah akan bertambah. Kalau yang masuk mikroba yang patogen, bisa merusak," kata Dyah melanjutkan.

Yang jelas, Dyah menyarankan untuk tidak meninggalkan jamu. "Tidak semua industri jamu seperti itu, kok. Banyak produk jamu yang bagus. Konsumen harus jeli memilih, mana jamu yang aman dan mana yang tidak. Lagipula, negara kita ini sangat kaya dengan tanaman obat. Jadi, kitalah yang harus memberdayakan."

LAYAK KONSUMSI

Selain soal khasiat, yang juga harus diperhatikan sebelum mengonsumsi jamu adalah sisi keamanan. "Memang sulit untuk mengetahui apakah ada kandungan bahan kimia di dalam produk jamu. Harus melewati penelitian," jelas Dyah. Tapi, untuk melihat apakah jamu masih bagus (layak konsumsi) atau tidak, bisa dilakukan. Salah satunya dengan melihat tanggal kadaluwarsa. "Juga dari penampakkan serbuk jamunya sendiri. Serbuk yang bagus biasanya kering, tidak lembap."

Dyah juga menyarankan untuk memilih jamu yang sudah teregistrasi. "Ini paling tidak akan mengurangi kemungkinan meminum jamu yang tidak jelas kandungannya. Akan lebih baik kalau minum jamu yang diproduksi berdasarkan hasil penelitian dan proses pembuatannya benar (experiment-based dan knowledge-based).

Minum jamu sebaiknya juga jangan sampai menjadi suatu ketergantungan. "Meskipun sifatnya lebih untuk pencegahan, sebaiknya jangan setiap hari. Diberi selang waktu, misalnya minum dua hari sekali." Yang tak kalah penting adalah konsumsi gizi yang baik, olahraga dan istirahat teratur. "Itu juga membantu mencegah penyakit."

LANGSING DENGAN JAMU

Dari 93 jenis obat tradisional yang ditarik, beberapa di antaranya adalah adalah jenis pelangsing. Menurut Dyah, "Ada, kok, tanaman yang memang bisa membuat langsing, misalnya daun jati belanda atau bangle. Bangle sudah diteliti sampai ke oksisitasnya, sementara daun jati belanda malah sudah diteliti sampai ke tahap preklinik (uji coba ke hewan)."

Cuma, lanjut Dyah, "Orang, kan, ingin langsing cepat, kalau bisa sih turun drastis. Nah, sampai sekarang memang belum ditemukan jamu yang bisa melangsingkan tubuh secara drastis." Yang harus diingat, proses yang cepat tidak menjamin hasil yang selalu bagus. "Kalau berat badan turun drastis, konsekuensinya terjadi pembakaran yang luar biasa, metabolisme terganggu, dan efeknya bisa kemana-mana," jelasnya. "Dengan minuman instan bangle, misalnya, paling tidak berat badan tidak nambah, turun juga sedikit-sedikit."

INI DIA!

Merek produk obat tradisional yang mengandung BKO antara lain: Xing Shi Jiu, G-Bucks Kapsul, Asam Urat dan Flu Tulang Kapsul serta Serbuk, Neo Tasama Kapsul, Pegal Linu Encok Rematik, Langsing Alami Kapsul, Amargo Jaya Ramuan Madura, Cikung Makassar Super, Obat Pegel Linu Ngilu Tulang, Sembur Angin, Daun Dewa, Flu Tulang LabaLaba, Obat Kuat Viagra, Extra Fit, Pegel Linu Cap Widoro Putih, Prono Jiwo dan Antanan Kapsul.
(Sumber: BPOM)